.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

navigasi

MAKLAH GARINDRA, SOETARJO DAN GAPI



KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘Perjuangan PARINDRA, Petisi Soetarjo, dan GAPI’’.
Makalah ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah Sumpah Pemuda ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.



                                                                                          Penulis









BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Perasaan akan timbulnya nasionalisme bangsa Indonesia telah tumbuh sejak lama, bukan secara tiba-tiba. Nasionalisme tersebut masih bersifat kedaerahan, belum bersifat nasional. Nasionalisme yang bersifat menyeluruh dan meliputi semua wilayah nusantara baru muncul sekitar awal abad XX. Lahirnya nasionalisme bangsa Indonesia didorong oleh dua faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern.
Faktor-faktor intern tersebut diantaranya adalah sejarah masa lalu yang gemilang yakni dimana pada masa kejayaan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Dan faktor ekstern adalah kemenangan Jepang atas Rusia yakni dengan ini mematahkan pemikiran bahwa bangsa barat adalah bangsa yang besar dan superior, dan juga partai kongres di India, yang bertujuan melawan Inggris di India.
Dengan kedua faktor tersebut jelas menimbulkan kesadaran akan nasionalisme di benak bangsa Indonesia. Dimulai sejak perjuangan seorang wanita yang bernama R.A Kartini dengan menerbitkan buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” Di susul dengan berdirinya organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan yakni Budi Utomo pada tanggal 25 Mei 1908 adalah bukti nyata bahwa telah muncul kesadaran akan diinginkannya persatuan di tanah air ini.
Petisi Sutarjo adalah salah satu contoh nyata juga bahwa kerasnya perjuangan para pendahulu dalam mencapai suatu bangsa yang merdeka. Dan tidak hanya dengan petisi Sutardjo terobosan langkah baru dengan menuju jalan parlemen juga dilakukan pada era pra-kemerdekaan. Maka dari itu hal ini sangat menarik untuk kita telusuri lebih jauh tentang peristiwa Petisi Sutarjo dan Indonesia Berparlemen ini, yang merupakan bagian dari Sejarah Pergerakan Indonesia.


B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan petisi Sutardjo, siapa yang mengeluarkan petisi Sutardjo itu ?
2.      Apa isi petisi Sutardjo dan latar belakang dikeluarkannya petisi Sutardjo ?
3.      Bagaimana reaksi bangsa Indonesia dan Belanda terhadap petisi Sutardjo ?
4.      Apa yang dimaksud dengam Gabungan Politik Indonesia ( GAPI ) ?
5.      Apa yang menjadi latar belakang di bentuknya Gabungan Politik Indonesia ?
6.      Apa saja yang aksi-aksi yang dilakukan GAPI dalam usaha menyatukan gerakan nasional ?
7.      Bagaimana tanggapan pemerintah Belanda terhadap aksi GAPI hingga Belanda menyerah terhadap Jepang ?

C.      Tujuan Penulisan

1.      Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan petisi Sutardjo dan siapa orang yang mengeluarkan petisi tersebut.
2.      Untuk menjelaskan apa isi dari petisi Sutardjo dan apa yang melatarbelakangi dikeluarkannya petisi Sutardjo.
3.      Untuk menggambarkan bagaimana reaksi bangsa Indonesia dan bangsa Belanda terhadap petisi Sutardjo.
4.      Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
5.      Untuk menggambarkan latar belakang GAPI dalam usaha menyatukan gerakan Nasional.
6.      Untuk menggambarkan aksi-aksi yang telah dilakukan GAPI dalam usahanya menyatukan gerakan Nasional.
7.      Untuk menggambarkan tanggapan pemerintah Belanda terhadap tuntutan GAPI hingga pada fase Belanda menyerah kepada Jepang.



BAB II
PEMBAHASAN
A.     PARINDRA (Partari Indonesia Raya)
Partai Indonesia Raya didirikan di solo pada Desember 1935. Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu BU, dan PBI. Sebagai ketuanya dipilih Dr. Sutomo. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia Merdeka. Di Jawa anggota PARINDRA banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum Kromo. Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera dan Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J Kasimo, Dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong dan Alatas.
1.      Sejarah Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
Parindra didirikan di Solo oleh dr. Sutomo tanggal 26 Desember 1935. Tujuan Parindra adalah mencapai Indonesia Raya. Tokoh-tokoh Parindra yang terkenal dalam membela kepentingan rakyat di volksraad adalah Moh. Husni Thamrin. Perjuangan Parindra dalam volksraad cukup berhasil, terbukti pemerintah Belanda mengganti istilah inlandeer menjadi Indonesier.
Dalam halini kita mulai dengan, Dr.Soetomo dimana beliau adalah seorang tokoh pendiri Budi Otomo, pada ahir tahun 1935 di kota Solo, Jawa tengah, berusaha untuk menggabungkan antara PBI (Persatuan Bangsa Indonesia). Serikat Selebes, serikat Sumatra, serikat Ambon, Budi Otomo, dan lahirnya sebagai tanda berakhirnya fase kedaerahan dalam pergerakan kebangsaan menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya). PBI sendiri merupakan klub studi yang didirikan oleh Dr.Soetomo pada tahun 1930 di Surabaya, Jawa Timur.
Ada beberapa tokoh yang ikut serta dan bergabung dengan Parindra (Partai Indonesia Raya) pada saat itu ialah:
1)      Woeryanigrat
2)      Soekardjo Wijopranto
3)      Raden Mas Margono Djojohadikusumo
4)      R. Panji Soeroso
5)      Mr.Soesanto Tirtoprojo
Parindra berusaha menyusun kaum Tani dengan mendirikan RT (Rukun Tani), menyusun serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun Perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi (Menolong diri sendiri), mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya, serta mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.
Pada saat berdirinya, Parindra telah memiliki 52 cabang dengan 2.425 anggota. Pada tahun 1936 meningkat menjadi 57 cabang dengan 3.425 anggota. Dalam kongresnya di Jakarta tanggal 15-18 Mei 1937, Parindra mengambil sikap moderat. Sikap moderat dinilai sangat fleksibel dan menguntungkan dengan situasi dan kondisi pada saat itu.
Akhirnya Parindra dapat mendudukan wakilnya dalam Volksraad, yaitu Muhammad Husni Thamrin. Parindra banyak melakukan kritik terhadap Belanda, bahkan terhadap Petisi Soetarjo 1936, karena dinilai kurang mengakomodasi kepentingan rakyat.
Untuk memperbaiki perekonomian rakyat, Parindra membentuk organisasi rukun tani, membentuk sarikat-sarikat sekerja, menganjurkan swadesi ekonomi, dan mendirikan “Bank Nasional Indonesia”. Kongres kedua dilaksanakan di Bandung pada 24-27 Desember 1938.
Karena saat itu Dr. Sutomo sudah meninggal maka kongres memilih K.R.M. Wuryaningrat untuk menjadi ketua partai. Dalam Kongres itu diambil keputusan-keputusan, antara lain: tidak menerima peranakan (Indo) menjadi anggota, berusaha keras mengurangi pengangguran, dan meningkatkan transmigrasi guna memperbaiki kesejahteraan.
Kegiatan Parindra ini sangat didukung oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, pada saat itu ialah Van Starkenborg yang menggantikan de Jonge pada tahun 1936. Pada tahun 1937 Parindra memiliki anggota 4.600 orang, berjalan dengan waktu pada tahun 1938 anggota Parindra bertambah menjadi 11.250 orang, anggota ini sebagian besar berkonsentrasi di Jawa Timur. Diperkiraan anggota Parindra (Partai Indonesia Raya) pada saat itu berjumlah 19.500 orang. Dengan gagalnya Partindo untuk mengadakan kongres pada tanggal 22-25 Desember 1933 menimbulkan gagasan baru bagi Dr. Sutomo selaku Ketua PPPKI untuk menyatukan partai-partai lain dibawah asuhannya. Maka direncanakan oleh Dr.Sutomo adanya penggabungan partai antara Budi Otomo dan PBI.
Kemudian pada tanggal 6 Januari 1934 dibentuk panitia ad hoc dari pihak PBI, dan Budi Otomo, yang bertugas untuk mengadakan perundingan tentang adanya penggabungan kedua partai tersebut. Pada tanggal 19 April 1935 Panitia berhasil merealisasi gagasan penggabungan (fusi) antara dua partai tersebut dan akan dinyatakan /diresmikan pada kongres tanggal 24-26 Desember 1935. Hasil penggabungan dua partai yakni PBI dan Budi Otomo menjadi Partai Indonesia Raya yang disingkat menjadi Parindra. Pada tanggal 24-26 Desember 1935 kongres bersama-sama antara Budi Otomo dan PBI dilaksanakan di Surakarta. Hasil kongres menyatakan sesuai dengan hasil keputusan rapat Panitia ad hoc, yaitu penggabungan dua partai PBI dan Budi Otomo menjadi Partai Indonesia Raya disingkat menjadi Parindra. Sebagai ketua dipilih Dr. Sutomo, dan wakil Ketua K.R.M Wuryaningrat.
Untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, Parindra melakukan program-program, yakni:
1)      Melakukan pencerdasan secara politik-ekonomi-sosial kepada masyarakat sebagai bekal dalam menjalankan pemerintahan sendiri di masa depan.
2)      Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras, pendidikan dan kedudukannya.
3)      Membentuk dan menjalankan aksi besar hingga diperoleh pemerintahan yang demokratis, berdasar kepentingan dan kebutuhan bangsa Indonesia.
4)      Bekerja keras di setiap bidang usaha untuk meninfkatkan kesejahteraan rakyat baik secara ekonomis, sosial, maupun politis.
5)      mengusahakan adanya persamaan han dan kewajiban serta kedudukan dalam hukum bagi seluruh warga Negara Indonesia.

2.      Tujuan Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
Partai Indonesia Raya merupakan partai politik yang bergerak berdasarkan rasa nasionalisme Indonesia dengan tujuan menjadikan Indonesia Mulia dan Sempurna. Parindra menganut azas kooperatif, atau memilih untuk berkerja sama dengan pemerintahan belanda.
Hasil penggabungan dua partai yakni PBI dan Budi Otomo menjadi Partai Indonesia Raya yang disingkat menjadi Parindra. Pada tanggal 24-26 Desember 1935 kongres bersama-sama antara Budi Otomo dan PBI dilaksanakan di Surakarta. Hasil kongres menyatakan sesuai dengan hasil keputusan rapat Panitia ad hoc, yaitu penggabungan dua partai PBI dan Budi Otomo menjadi Partai Indonesia Raya disingkat menjadi Parindra. Sebagai ketua dipilih Dr. Sutomo, wakil Ketua K.R.M Wuryaningrat.
Pada kongres tersebut, dicetuskan pula tujuan PARINDRA, yaitu sebagai berikut:
1)      Bahwa tiap-tiap manusia berhak dan berkewajiban untuk berjuang bagi keselamatan Negara dan bangsanya. Untuk itu harus ada kerjasama antara rakyat dan Parindra untuk mencapai kemakmuran dan kemulian Indonesia.
2)      Bahwa Parindra bertujuan untuk membentuk sebuah Negara Indonesia Raya yang harus dilaksanakan oleh rakyat sendiri.
3)      Parindra berkeyakinan untuk memperjungkan sebuah Negara yang makmur, untuk itu rakyat Indonesia harus bersatu baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut dalam kongres dicetuskan pula syarat-syarat yang meliputi beberapa bidang:
1)      Susunan pemerintahan yang demokratis, bersandar atas kepentingan dan kebutuhan Indonesia.
2)      Alat pemerintahan yang berdasar dan ditujukan pada kepentingan Indonesia serta dipegang sendiri oleh bangsa Indonesia.
3)      Kedudukan yang sama bagi segala penduduknya.
4)      Hak dan kewajiban yang sama bagi tiap-tiap orang.

Tujuan perjuangannya adalah untuk menyempurnakan derajat bangsa Indonesia dengan melakukan hal-hal yang nyata dan dapat dirasakan oleh rakyat banyak, seperti memajukan pendidikan, mendirikan koperasi rakyat, mendirikan bank-bank untuk rakyat dan juga mendirikan persatuan nelayan.


3.      Perjalanan Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
Di saat gerak Parindra berhasil dengan baik dan berkembang dengan pesat, sehingga sudah akan mengadakan konggres lagi yang ke II yakni pada bulan Desember tahun 1938, mendadak ada kesedihan dalam diri Parindra sebab Dr.Sutomo yang merupakan motor dari Parindra meninggal dunia pada tanggal 30 Mei 1938 di Rumah Sakit Pusat Surabaya. Sebelum beliau meninggal masih sempat berpesan Sudirman: "Saudaraku, pesanku padamu dan pada saudara-saudara lain semuanya yang akan kutinggalkan, bekerjalah terus untuk kemajuan pergerakan kita. Ketahuilah olehmu saudara, bahwa pergerakan bangsa kita masih harus berkembang, harus bersemi dan harus selalu maju. Oleh karena itu, saudara sampaikanlah pesanku kepada saudara-saudara semuanya yang tidak dapat mengunjungi saya kemari, bersama-samalah bekerja lebih giat dan kuat guna kemajuan pergerakan dan perjuangan bangsa".
Atas permintaan beliau sendiri jenazah dikebumikan di halaman Gedung Nasional Surabaya. Walaupun Dr.Sutomo telah meninggal, tetapi dengan adanya pesan terakhir tersebut, maka kaum pergerakan Nasional khususnya Parindra semangatnya pantang mundur. Untuk membina tetap adanya kekompakan pada diri Parindra, selaku Ketua diganti oleh R.M.A. Wurjaningrat sebagai Ketua cita-cita atau tetap diteruskan.[4] Pada bulan Juli 1938 Rukun Tani sudah mampu mengadakan konprensi yang pertama di Lumajang. Konprensi Rukun Tani Parindra ini dimeriahkan juga dengan pasar malam, yang mendapat perhatian dari segala lapisan masyarakat. Hadir dalam konprensi tersebut antara lain Gubernur Jawa Timur Van der Plas. Di dalam sambutannya dia mengatakan simpatinya terhadap Rukun Tani. Di harapkan juga oleh Van der Plas agar supaya Rukun Tani menjauhkan dari soal-soal politik. Harapan dari Van der Plas tersebut tentunya cukup didengar saja, sebab bagaimanapun juga Rukun Tani Parindra didirikan oleh kaum pergerakan nasional, jadi jelas sedikit banyak tentu berbau politik.
Di dalam diri Parindra didirikan juga koprasi Tani yang disebut Loemboeng-cooperatie (lumbung koprasi). Lumbung koprasi Parindra ini banyak sekali didirikan di jawa Timur, antara lain di Dawuhan, Gombloh, Kaliboto, Jogayudan, Karangbendo, Jombang, Kutorejon, dan lain-lain. Parindra selain memperhatikan bidang politik dan ekonomi, bidang sosial pun mendapat perhatian yang baik sekali, sehingga dibentuk Departemen Sosial Parindra. Dalam bidang ini Parindra mengusahakan pemeliharaan penganggur dan pembukaan berbagai klinik umum. Pekerjaan sosial lainnya yang tidak mampu ditangani oleh Parindra sendiri, wakil Parindra memperjuangkan di dalam dewan-dewan. Pekerjaan sosial dimaksud antara lain perbaikan perumahan rakyat, pengaturan ait umum, pembuatan kakus umum, dan lain-lain. Dengan demikian jelas bahwa Parindra berjuang dalam bidang sosial masyarakat tidak hanya terbatas pada kemampuan yang ada, tetapi Parindra juga memperjuangkan kepada dewan (Perlemen), sesuai dengan jiwa atau sifat perjuangan Parindra yakni koperasi incidental. Di dalam bidang pendidikan Parindra juga berusaha untuk memperjuangkan melalui dewan. Usaha ini antara lain:
1)      Memperjuangkan untuk dapatnya mengubah jumlah dan jenis sekolah yang cocok dengan rencana kemakmuran dan perkembangan penduduk.
2)      Memperjuangkan untuk dapatnya menurunkan uang sekolah dengan maksud agar sesuai dengan kemampuan rakyat. Di samping itu juga diperjuangkan agar supaya anak-anak yang tidak mampu mendapat kesempatan untuk belajar dengan cuma-Cuma
3)      Memperjuangkan untuk dapatnya memberikan beasiswa secara luas dan menyelenggarakan asrama murah bagi para siswa sekolah menengah dan sekolah tinggi dan apabila dipandang perlu juga untuk anak-anak sekolah rakyat.
Dengan melihat usaha-usaha Parindra yang menyeluruh, maka wajar apabila Parindra mendapat sambutan yang baik sekali dari masyarakat Jawa Timur sehingga partai ini hidup terus sampai nanti tahun 1942. Dengan bergantinya penjajah, dari penjajah Belanda kepada penjajah Jepang yang mana Jepang melarang partai yang berbau politik hidup di Indonesia.

B.      Petisi Soetarjo
a.    Pengertian Petisi Sutarjo
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), petisi adalah permohonan resmi kepada pemerintah, yang di maksudkan disini adalah Presiden, Raja atau Ratu dan sebagainya. Sebagai contoh dari sebuah petisi adalah mahasiswa mengajukan petisi menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari jabatannya.
Petisi Sutardjo adalah petisi yang dikeluarkan oleh Soetardjo Karthohadikoesoemo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelminaserta serta Staten Generaal (parlemen) Belanda.( Soetardjo Kartohadikoesoemo adalah putra seorang Assistant-Wedono di onder-distrik Kunduran, Ngawi, yaitu Kiai Ngabehi Kartoredjo. Sedangkan Ibunda Soetardjo, Mas Ajoe Kartoredjo, adalah keturunan keluarga pemerintahan dari Banten. Keluarga Soetardjo adalah keluarga pamong praja. Semua saudara laki-lakinya menjadi pegawai negeri, sedangkan yang perempuan menjadi istri pegawai negeri. Walaupun berasal dari keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa kecil Soetardjo banyak dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di kemudian hari untuk menulis buku tentang desa.
Di akhir masa sekolahnya, Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah pada 1906. Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan melanjutkan pendidikan di OSVIA. Disinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan organisasi pergerakan. Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1911 saat meninggalkan sekolah dan “magang” kerja pada kantor Assisten Resident di Blora. Saat itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar.
Tidak sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu juru tulis pada kantor Residen Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta lima bulan kemudian diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono. Jabatan-jabatan tersebut membuat Soetardjo banyak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan pemerintahan hingga membuat berita acara pemeriksaan serta berkas tuntutan jaksa dalam bahasa Indonesia dan Belanda. Walaupun dibesarkan dalam keluarga birokrat jawa, namun Soetardjo memiliki pandangan yang menentang feodalisme, terutama yang merendahkan masyarakat pribumi dihadapan orang Belanda. Saat menjabat sebagai Mantri, Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara konferensi yang menempatkan pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan duduk silo di atas tikar, sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada konferensi bulan berikutnya, semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan putih dan duduk di atas kursi. Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di daerah Blora. Saat menjabat sebagai Assistent Wedono Bogorejo, Soetardjo menggagas dan memelopori berdirinya koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang terpuruk karena praktik tengkulak.
Karena kerja kerasnya karirnya pun semakin meningkat dan saat terbentuknya PPBB, ia ditunjuk sebagai wakil ketua dan dicalonkan kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad. Selama menjadi anggota Volksraad, Soetardjo berhubungan erat dengan para mahasiswa Bestuur academi. Soetardjo melontarkan gagasan-gagasannya tentang perlunya mengubah hubungan dan tata kerja pamong praja yang feodal menjadi lebih modern. Selain itu juga didirikan Soetardjo Bank melalui kongres PPBB. Soetardjo juga memperjuangkan dikeluarkannya pamong praja dari Peraturan Gaji Regional (Regionale Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan dimasukkan ke dalam Peraturan Gaji Pegawai (Bezoldingings-regeling Burgerlijke Landsdienaren) sehingga lebih pantas.
Selama menjadi anggota Volksraad, selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di awal bagian tulisan ini, Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1.      Mosi kepada pemerintah Belanda untuk memberikan sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat desa. Mosi ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di Cipanas sebesar 2 juta Gulden.
2.      Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat dengan membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan tugas merancang upaya memberantas kemiskinan.
3.      Mosi berupa tuntutan mengubah sebutan inlander dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4.      Mosi membuat peraturan milisi bagi penduduk Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk menjadi anggota militer.
5.      Mosi berupa permohonan untuk memperbanyak sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare vakschool), menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht) mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional (leerplicht).
Selain itu, Soetardjo juga berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah pembuatan Desa Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen, pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi yang dikenal dengan Petisi Soetardjo.
Setelah penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dengan kemampuan dan pengalaman pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat sebagai pemimpin Departemen Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu). Pada 17 Agustus 1945, Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut kemudian diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal tersebut Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman Singodimedjo.
Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi dan kementerian kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang pertama. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi.Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

b.   Latar belakang Petisi Sutarjo dan isi Petisi Sutajo
Langkah-langkah baru dalam pergerakan nasional perlu dilakukan karena terjadinya perubahan situasi. Gerakan-gerakan non-koperatif jelas tidak mendapat jalan, sedang gerakan koperatif pun harus dibawah persetujuan pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda. Karena itu rupanya masih ada jalan untuk meneruskan perjuangan lewat Dewan Rakyat. Partai-partai politik masih ada kesempatan untuk melakukan aksi bersama sehingga muncullah dengan apa yang disebutkan Petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936.
Sutarjo mengajukan usul kepada pemerintah Hindia-Belanda agar diadakan konferensi Kerajaan Belanda yang membahas status politik yang berupa otonomi meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Hal ini dimaksudkan agar tercapai kerjasama yang mendorong rakyat untuk memajukan negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi dan sosial. Jelas bahwa petisi ini bersifat moderat dan koperatif melalui cara-cara yang sah dalam Dewan Rakyat.
Landasan usul adalah pasal 1 Undang-Undang Dasar kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao, yang menurut pendapat Sutardjo keempat wilayah itu didalam kerajaan Nederland mempunyai derajat sama. Usul tersebut didukung oleh Ratu Langie, Datuk Tumenggung, Alatas, I.J Kasimo, dan Ko Kwat Tiong. Dukungan ini menurut Sutardjo mencerminkan keinginannya bahwa usul petisi didukung oleh berbagai golongan suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia.
Adapun isi petisi itu ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaanya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawaratan itu.
Usul yang menyangkut perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena makin meningkatnya perasaan tidak puas dikalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal De Jonge. Padahal menurut Sutardjo, hubungan baik antara Indonesia dengan negeri Belanda perlu ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak lebih-lebih adanya bayangan bahaya pecahnya perang di Pasifik. Hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda. Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1.         Pulau Jawa dijadikan satu propinsi, sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
2.         Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah dihapus
3.         Gubernur Jendral diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan
4.         Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab
5.         Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6.         Raad Van Indie ( Dewan Hindia ) adalah anggota-anggota biasa dan seorang Vice President diangkat oleh Raja, disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara
7.         Dibentuknya dewan kerajaan Rijksraad sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang menteri atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen
8.         Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan disini diadakan seleksi yang ketat.

c.    Reaksi-reaksi terhadap Petisi Sutarjo
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun bukan dari pihak Indonesia. Pers Belanda menuduh petisi sebagai suatu permainan yang berbahaya, revolusioner belum waktunya, dan tidak sesuai dengan keadaan. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak mempunyai kekuatan.  Akhirya tanpa pemilihan suara dalam sidang Volksraad, usul petisi diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus yang dimulai tanggal 17 September 1936. Dari perdebatan yang dilakukan didalam sidang Volksraad, disamping kelompok pengusul sendiri, terdapat tiga kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat.
1.      Kelompok Van Helsdingen, Notosoeroto, terdiri dari wakil-wakil : Christelijke Staatspartij, Vaderlandsche Club, Ondernemersgroep, Indische Katholieke Partij dan beberapa anggota organisasi lainnya yang menolak usul petisi karena rakyat Indonesia belum mampu untuk berdiri sendiri.
2.      Kelompok Sukardjo Wirjopranoto yang terdiri dari beberapa anggota fraksi nasional, yang dengan tegas menolak usul petisi karena tidak ada gunanya. Soekardjo berpendapat petisi ini dapat melemahkan bahkan mematikan cita-cita Indonesia merdeka.
3.      Kelompok Suroso, yang terdiri dari wakil-wakil fraksi Nasional PEB, IEV dan beberapa nasionalis lainnya. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sudah cukup matang dan sudah sepantasnya pemerintah Belanda memberikan lebih banyak hak-hak kepada Indonesia.
3.
Pada tanggal 29 September 1936 selesai sidang perdebatan diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak. Dan pada tanggal 1 Oktober 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu,Staten-Generaal dan Menteri Koloni di negeri Belanda
Sementara menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937 Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri". Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.
Petisi ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi), Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik di Indonesia (PPKI), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya.  Masing-masing organisasi tersebut ada yang menyetujui usul tersebut dan adapula yang tidak. Pada persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan di tolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlahdse Zaken. Directeur van Onderwijs en Eredientst), telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang terang. Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini, maka tidak dapat disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang.(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus di tolak sehingga perubahan prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan. Akhirnya dengan keputusan kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia Belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri". Surat keputusan itu disampaikan pada sidang Volksraad tanggal 29 November 1938. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Penolakan yang diambil tanpa keputusan sidang Staten General itu sangat mengecewakan para pemimpin pergerakan rakyat Indonesia. Sutardjo sebagai pencetus ide petisi menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan terhadap petisi telah memperlihatkan sikap sombong dan ceroboh pemerintah Belanda, disamping mendemontrasikan sampai seberapa jauh sebenarnya kedudukan Volksraad dalam pemerintahan. Ia memperlihatkan pemerintah Belanda, bahwa sikap yang diambil terhadap petisi adalah keliru. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Central Comite Petisi Soetadjo kemudian mengeluarkan suatu surat terbuka yang ditujukan kepada pengurus besar semua partai politik dan perhimpunan-perhimpunan bangsa Indonesia, isinya disamping menyesali cara-cara penolakan atas petisi, juga mengajak seluruh partai-partai untuk menentukan sikap atas penolakan petisi tersebut, dengan mengadakan suatu konferensi di Jakarta tanggal 27-29 Mei 1939. Maksud CCPS untuk mengadakan suatu konferensi akhirnya tidak dapat dilaksanakan karena pada waktu itu beberapa partai politik bermaksud akan mengadakan Nationale Concentatie yang kemudian setelah terbentuk bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Sehingga Soetardjo kemudian memutuskan bahwa tugas untuk memperjuangkan petisi selesai sudah.

C.      Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan Indonesia Berparlemen
a.    Pengertian GAPI
Gabungan Politik Indonesia disingkat GAPI, merupakan federasi perkumpulan politik Indonesia untuk menyatukan seluruh kekuatan nasional. Terbentuk di Jakarta pada tanggal 21 Mei 1939 atas inisiatif Parindra untuk melahirkan sebuah Nationale Concentratie dalam rapat pengurus besarnya 18-19 Maret 1939. Dalam anggaran dasarnya, GAPI secara umum menjunjung persatuan nasional namun tidak akan ikut campur dalam partai anggotanya
Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas sekretaris umum, sekretaris pembantu dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk pertama kali diduduki oleh Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, Amir Sjarifudin dari Gerindo sebagai sekretaris pembantu, dan Ahmad Husni Thamrin dari Parindra sebagai bendahara. Anggota GAPI terdiri atas Parindra (Partai Indonesia Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), Partai Islam Indonesia, PPKI (Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia), Persatuan Minahasa dan Pasundan. Dasar-dasar federasi meliputi hak menentukan nasib sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi, sosial serta kesatuan aksi. Sedangkan tujuannya mengadakan kerjasama dan mempersatukan semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres rakyat Indonesia

b.      Latar Belakang berdirinya Gapi
Kemunduran PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia) serta gagalnya perjuangan Petisi Soetardjo menjadi salah satu cambuk bagi kaum pergerakan nasional untuk menuntut dan menyusun barisan kembali dalam wadah organisasi persatuan, yakni Gabungan Politik Indonesia (Gapi) yang menuntut "Indonesia Berparlemen" . Terutama ketika para tokohnya ditangkap dan di asingkan, PPPKI pun mengalami kemunduran, sebagai organisasi yang menyatukan kaum perjuangan, PPPKI dinilai gagal.
Kegagalan dari Petisi Sutardjo, dan kemunduran dari PPPKI menjadi alasan langsung untuk membentuk sebuah organisasi yang menyatukan semua organasisasi nasional ini dalam sebuah wadah. Sebelum di bentuk GAPI, ada sebuah badan yang dikenal dengan BAPEPI (Badan Perantara Partai-Partai Politik Indonesia) yang bertujuan untuk memberi wadah bagi kerja sama partai-partai politik Indonesia memberi wadah bagi kerja sama partai-partai politik Indonesia yang mempunyai cita-cita memajukan Indonesia. Namun, nasib badan ini kurang beruntung, berdasarkan pendiriannya saja sudah mengalami kontroversi, dan banyak alasan untuk organisasi lainnya untuk tidak masuk.
Lalu, datang inisiatif dari Thamrin, tokoh Parindra untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Hal ini didukung oleh keadaan dunia ketika itu yang semakin genting, serta kemungkinan Indonesia terlibat langsung dalam perang. 19 Maret 1939 usul Thamrin ini disetujui  dan secara umum mendapatkan persetujuan dari organisasi lainnya. Dua bulan kemudian pada 21 Mei 1939, panitia persiapan menyelenggarakan rapat umum di Gedung Permufakatan. Di sini Thamrin menerangkan bahwa, tujuannya adalah membentuk suatu badan persatuan yang akan mempelajari dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam pelaksanaan tiap-tiap organisasi tetap bebas untuk melakukan programnya sendiri.
Pada hari itu, pendirian GAPI disetujui dan diresmikan. Dalam anggaran dasarnya, tujuan pendirian GAPI ialah mengusahakan kerja sama antara partai-partai politik Indonesia serta menjalankan aksi bersama. Asas yang digunakan ialah penentuan nasib sendiri, kesatuan, dan persatuan nasional serta demokrasi dalam segi politik, sosial dan ekonomi. Di sini juga disetujui untuk mengadakan Kongres Rakyat di kemudian waktu. Dalam pengurusan sehari-hari dibentuklah kesekretariatan bersama yang diketuai oleh Abikusno (PSII) dan di bantu M.H Thamrin (Parindra) dan Amir Syarifudin (Gerindo).
Di dalam anggaran dasarnya GAPI berdasarkan pada:
1.      Hak untuk menentukan nasib diri sendiri.
2.      Persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, dan sosial.
3.      Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.

c.       Aksi-Aksi GAPI “ Indonesia Berparlemen “
Program konkret yang dilakukan GAPI terwujud pada rapat 4 Juli 1939, di sini GAPI memutuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib bangsa Indonesia sendiri serta kesatuan dan persatuan Indonesia. Dalam aksi GAPI ini memiliki semboyan “Indonesia berparlemen.”. Saat Jerman melakukan penyerbuan ke Polandia pada 20 September 1939, GAPI mengeluarkan suatu pernyataan yang dikenal dengan Manifest GAPI. Isinya mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme di mana kerja sama itu akan lebih berhasil apabila kepada rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan.
Dalam usaha mencapai tujuannya tersebut, GAPI disokong oleh pers Indonesia yang memberitakan dengan panjang dan lebar dan sikap beberapa negara di Asia dalam menghadapi bahaya fasisme. GAPI juga mengadakan rapat umum yang mencapai puncak pada 12 Desember 1939 dimana tidak kurang 100 tempat di Indonesia mengadakan propoganda tujuan GAPI. Jadi,saat itu Indonesia seakan bergemuruh dengan seruan Indonesia berparlemen.
Kongres Rakyat Indonesia (KRI) pertama, 25 Desember 1939 di Jakarta. Tujuannya yaitu Indonesia Raya, bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya dan sasaran pertama yang ingin dicapai adalah Indonesia Berparlemen penuh. KRI  ditetapkan sebagai sebuah badan tetap dengan GAPI sebagai badan eksekutifnya. Keputusan lainnya dari kongres ialah penetapan bendara Merah Putih, dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.
Pada awal Januari datang jawaban dari menteri jajahan Welter selaku menteri jajahan mengenai masalah aksi “Indonesia Berparlemen”. Jawabannya berupa “Tidak dapat dipenuhi keinginan rakyat Indonesia akan Indonesia Berparlemen, karena rakyat Indonesia umumnya tidak mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup dan perkumpulan-perkumpulan politik hanya mewakili sebagian kecil dari rakyat Indonesia”.
23 Februari 1940 GAPI menganjurkan untuk mendirikan pendirian Panitia Perlemen Indonesia untuk meneruskan aksi “Indonesia Berparlemen.” Kesempatan bergerak bagi GAPI ternyata tidak ada lagi, sebab Belanda diduduki Jerman pada perang dunia II. Sebab dengan alasan keadaan sedang perang, maka perubahan ketatanegaraan harus ditunda sampai perang selesai. Namun sebuah tuntutan GAPI pada bulan Agustus 1940, “Meminta pemerintah Belanda mempergunakan hukum tatanegara dalam masa genting untuk melangsungkan perubahan-perubahan ketatanegaraan dan diadakan perlemen penuh menggantikan Volkstraad yang ada”. Tuntutan ini dijawab oleh Dr. H.J. Levetl pada 23 Agustus 1940, “Bahwa belum waktunya mengadakan suatu rancangan perubahan ketatanegaraan Indonesia, namun pemerintah akan membentuk suatu komisi untuk peninjauan dan pengumpulan alasan-alasan yang terdiri dari cerdik pandai bangsa Indonesia”.

d.   Tanggapan pemerintah Belanda terhadap aksi GAPI hingga Belanda menyerah terhadap Jepang
Dibentuknya Komisi Visman
14 September 1940 dibentuk komisi Visman. Tugas panitia adalah mengungkapkan keinginan, cita-cita, serta harapan-harapan politik yang hidup di berbagai golongan dan lapisan masyarakat mengenai perubahan ketatanegaraan yang menyangkut posisi mereka. Pada umumnya partai politik di Dewan Rakyat, tidak menyetujui pendirian komisi ini. Laporan panitia baru diumumkan lebih dari satu tahun kemudian (Desember 1941) serta kesimpulan yang pokok ialah rakyat ada umumnya puas dengan pemerintahan Belanda.
Keadaan yang semakin genting menuntut kaum pergerakan menginginkan perubahan ketatanegaraan yang cepat dan jelas, pembentukan komisi Visman ini tentunya akan memperlambat sebab akan membutuhkan pembahasan dan perdebatan. Belum banyak yang dilakukan oleh komisi Visman, keluar pernyataan dari Ratu Wilhelmina pada 10 Mei 1941 dan diperjelas lagi dengan pidato Gubernur Jendral dalam pembukaan sidang Volkstraad, yang intinya mengadakan larangan dan pembatasan tentang rapat-rapat dan konsultasi komite-komite parlemen. 14 Juni 1941 dikeluarkan peraturan pelarangan untuk kegiatan politik dan rapat tertutup, rapat lebih 25 orang dilarang. Pada bulan Juni dan Juli pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan milisi orang-orang bumi putera (inhemse militie) walau tak mendapatkan sambutan oleh kaum pergerakan.
Ini dimanfaatkan oleh R.P. Suroso untuk menyatukan semua kalangan yang ada di dalam dan di luar Volkstraad, dalam rangka menuju Indonesia Merdeka. Untuk itu perlu dibentuk badan baru yang merupakan tandingan dari Volkstraad. Usaha itu menuai hasil ketika terjadi Kongres Rakyat Indonesia pada 13-14 September 1941. badan baru itu dikenal dengan nama Majelis Rakyat Indonesia (MARI), yang menggantikan KRI. 16 November 1941 berhasil memilih pemimpin yaitu Ketua (Mr. Sartono), Sekretaris (Sukardjo Wirjopranoto), dan Bendahara (Atik Suardi).
Tidak lama setelah terbentuknya badan baru tersebut, tanggal 7 Desember 1941 Jepang menyerang pakalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Mengetahui kejadian ini Mr. Sartono dan Sukardjo Wirjopranoto mengeluarkan anjuran agar rakyat Indonesia berdiri di belakang Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda. Anjuran ini menimbulkan perselisihan, yang menyebabkan Abikusno keluar dari MARI dan GAPI, sebab anjuran itu dikeluarkan tanpa persetujuan dari anggota-anggotanya. Perselisihan ini kemudian tertutup dengan keberhasilan Jepang dalam mengalahkan pasukan sekutu. Kekalahan pasukan A-B-C-D (Amerika, British, China Deutch), hanya menunggu waktu bagi Jepang masuk ke Hindia Belanda. Jepang mampu menghancurkan pertahanan Belanda di Indonesia, lalu pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah kalah.
Penyerahan tanpa syarat itu dilakukan oleh Jendral Ter Poorten (Belanda) kepada Jendral Hitoshi Imamura (Jepang) di lapangan terbang dekat Bandung. Sejak saat itu, pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Di mulailah babak baru, pemerintahan Jepang di nusantara.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Partai Indonesia Raya, didirikan dr.Sutomo, dengan tokoh terkenalnya M.H Thamrin, tujuannya untuk mencapai Indonesia raya, dan perjuangan Parindra dalam volksraad cukup berhasil. Pemerintah Belanda akhirnya mengganti istilah inlandeer menjadi Indonesier.
 Petisi Sutarjo adalah petisi yang dikeluarkan oleh Soetardjo Karthohadikoesoemo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal ( parlemen ) Belanda.
Langkah-langkah baru dalam pergerakan Nasional perlu dilakukan karena terjadinya perubahan situasi. Gerakan-gerakan non-koperatif jelas tidak mendapat jalan, sedang gerakan koperatif pun harus dibawah persetujuan pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda. Adapun isi petisi itu ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak yang sama.
Keputusan kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia Belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri".
 Sementara itu, Gabungan Politik Indonesia disingkat GAPI, merupakan federasi perkumpulan politik Indonesia untuk menyatukan seluruh kekuatan nasional. Terbentuk di Jakarta pada tanggal 21 Mei 1939 atas inisiatif Parindra untuk melahirkan sebuah nationale concentratie dalam rapat pengurus besarnya 18-19 Maret 1939. Dalam anggaran dasarnya, GAPI secara umum menjunjung persatuan nasional namun tidak akan ikut campur dalam partai anggotanya.
Dalam aksinya yang dikenal dengan “ Indonesia Berparlemen “, GAPI telah melakukan beberapa aksi diantaranya membentuk Kongres Rakyat Indonesia ( 4 Juli 1939 ), mengeluarkan Manifest GAPI ( 20 September 1939 ). Intinya terjadi Penolakan dari pihak Pemerintah Belanda dan Hindia Belanda terhadap aksi GAPI sehingga di akhir pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, GAPI membentuk MARI ( Majelis Rakyat Indonesia ) pada 16 November 1941 yang tujuannya untuk melanjutkan aksi GAPI.
Hingga akhir pemerintahan Hindia-Belanda Petisi Sutarjo dan Indonesia Berparlemen tidak mendapat reaksi positif dari pihak Pemerintah Belanda maupun Hindia Belanda, alasan yang mendasar adalah Indonesia dinilai belum mampu untuk mengurusi urusan ketatanegaraan sendiri yakni terutama dari segi ekonomi.



DAFTAR PUSTAKA








Tidak ada komentar:

Posting Komentar