KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ‘Perjuangan PARINDRA, Petisi Soetarjo, dan GAPI’’.
Makalah
ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis
dapat memperbaiki makalah.
Akhir
kata penulis berharap semoga makalah Sumpah Pemuda ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perasaan akan timbulnya
nasionalisme bangsa Indonesia telah tumbuh sejak lama, bukan secara tiba-tiba.
Nasionalisme tersebut masih bersifat kedaerahan, belum bersifat nasional.
Nasionalisme yang bersifat menyeluruh dan meliputi semua wilayah nusantara baru
muncul sekitar awal abad XX. Lahirnya nasionalisme bangsa Indonesia didorong
oleh dua faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern.
Faktor-faktor intern
tersebut diantaranya adalah sejarah masa lalu yang gemilang yakni dimana pada
masa kejayaan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Dan faktor ekstern adalah
kemenangan Jepang atas Rusia yakni dengan ini mematahkan pemikiran bahwa bangsa
barat adalah bangsa yang besar dan superior, dan juga partai kongres di India,
yang bertujuan melawan Inggris di India.
Dengan kedua faktor
tersebut jelas menimbulkan kesadaran akan nasionalisme di benak bangsa
Indonesia. Dimulai sejak perjuangan seorang wanita yang bernama R.A Kartini
dengan menerbitkan buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” Di
susul dengan berdirinya organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan yakni
Budi Utomo pada tanggal 25 Mei 1908 adalah bukti nyata bahwa telah muncul
kesadaran akan diinginkannya persatuan di tanah air ini.
Petisi Sutarjo adalah
salah satu contoh nyata juga bahwa kerasnya perjuangan para pendahulu dalam
mencapai suatu bangsa yang merdeka. Dan tidak hanya dengan petisi Sutardjo
terobosan langkah baru dengan menuju jalan parlemen juga dilakukan pada era
pra-kemerdekaan. Maka dari itu hal ini sangat menarik untuk kita telusuri lebih
jauh tentang peristiwa Petisi Sutarjo dan Indonesia Berparlemen ini, yang
merupakan bagian dari Sejarah Pergerakan Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan petisi
Sutardjo, siapa yang mengeluarkan petisi Sutardjo itu ?
2.
Apa isi petisi Sutardjo dan latar
belakang dikeluarkannya petisi Sutardjo ?
3.
Bagaimana reaksi bangsa Indonesia
dan Belanda terhadap petisi Sutardjo ?
4.
Apa yang dimaksud dengam Gabungan
Politik Indonesia ( GAPI ) ?
5.
Apa yang menjadi latar belakang di
bentuknya Gabungan Politik Indonesia ?
6.
Apa saja yang aksi-aksi yang
dilakukan GAPI dalam usaha menyatukan gerakan nasional ?
7.
Bagaimana tanggapan pemerintah
Belanda terhadap aksi GAPI hingga Belanda menyerah terhadap Jepang ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan petisi Sutardjo dan siapa orang yang mengeluarkan petisi
tersebut.
2.
Untuk menjelaskan apa isi dari
petisi Sutardjo dan apa yang melatarbelakangi dikeluarkannya petisi Sutardjo.
3.
Untuk menggambarkan bagaimana
reaksi bangsa Indonesia dan bangsa Belanda terhadap petisi Sutardjo.
4.
Untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
5.
Untuk menggambarkan latar belakang
GAPI dalam usaha menyatukan gerakan Nasional.
6.
Untuk menggambarkan aksi-aksi yang
telah dilakukan GAPI dalam usahanya menyatukan gerakan Nasional.
7.
Untuk menggambarkan tanggapan
pemerintah Belanda terhadap tuntutan GAPI hingga pada fase Belanda menyerah
kepada Jepang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PARINDRA (Partari Indonesia Raya)
Partai
Indonesia Raya didirikan di solo pada Desember 1935. Partai ini merupakan
gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu BU, dan PBI. Sebagai ketuanya
dipilih Dr. Sutomo. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan mulia yang
hakekatnya mencapai Indonesia Merdeka. Di Jawa anggota PARINDRA banyak berasal
dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum Kromo. Di daerah lain masuk
kaum Betawi, Serikat Sumatera dan Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang
mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan
pertama, yang lainnya I.J Kasimo, Dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat
Tiong dan Alatas.
1. Sejarah Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
Parindra
didirikan di Solo oleh dr. Sutomo tanggal 26 Desember 1935. Tujuan Parindra
adalah mencapai Indonesia Raya. Tokoh-tokoh Parindra yang terkenal dalam
membela kepentingan rakyat di volksraad adalah Moh. Husni Thamrin. Perjuangan
Parindra dalam volksraad cukup berhasil, terbukti pemerintah Belanda mengganti
istilah inlandeer menjadi Indonesier.
Dalam
halini kita mulai dengan, Dr.Soetomo dimana beliau adalah seorang tokoh pendiri
Budi Otomo, pada ahir tahun 1935 di kota Solo, Jawa tengah, berusaha untuk
menggabungkan antara PBI (Persatuan Bangsa Indonesia). Serikat Selebes, serikat
Sumatra, serikat Ambon, Budi Otomo, dan lahirnya sebagai tanda berakhirnya fase
kedaerahan dalam pergerakan kebangsaan menjadi Parindra (Partai Indonesia
Raya). PBI sendiri merupakan klub studi yang didirikan oleh Dr.Soetomo pada
tahun 1930 di Surabaya, Jawa Timur.
Ada
beberapa tokoh yang ikut serta dan bergabung dengan Parindra (Partai Indonesia
Raya) pada saat itu ialah:
1)
Woeryanigrat
2)
Soekardjo Wijopranto
3)
Raden Mas Margono Djojohadikusumo
4)
R. Panji Soeroso
5)
Mr.Soesanto Tirtoprojo
Parindra
berusaha menyusun kaum Tani dengan mendirikan RT (Rukun Tani), menyusun serikat
pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin),
menyusun Perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi (Menolong diri sendiri),
mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya, serta mendirikan
percetakan-percetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.
Pada
saat berdirinya, Parindra telah memiliki 52 cabang dengan 2.425 anggota. Pada
tahun 1936 meningkat menjadi 57 cabang dengan 3.425 anggota. Dalam kongresnya
di Jakarta tanggal 15-18 Mei 1937, Parindra mengambil sikap moderat. Sikap
moderat dinilai sangat fleksibel dan menguntungkan dengan situasi dan kondisi
pada saat itu.
Akhirnya
Parindra dapat mendudukan wakilnya dalam Volksraad, yaitu Muhammad Husni
Thamrin. Parindra banyak melakukan kritik terhadap Belanda, bahkan terhadap
Petisi Soetarjo 1936, karena dinilai kurang mengakomodasi kepentingan rakyat.
Untuk
memperbaiki perekonomian rakyat, Parindra membentuk organisasi rukun tani,
membentuk sarikat-sarikat sekerja, menganjurkan swadesi ekonomi, dan mendirikan
“Bank Nasional Indonesia”. Kongres kedua dilaksanakan di Bandung pada 24-27
Desember 1938.
Karena
saat itu Dr. Sutomo sudah meninggal maka kongres memilih K.R.M. Wuryaningrat
untuk menjadi ketua partai. Dalam Kongres itu diambil keputusan-keputusan,
antara lain: tidak menerima peranakan (Indo) menjadi anggota, berusaha keras
mengurangi pengangguran, dan meningkatkan transmigrasi guna memperbaiki
kesejahteraan.
Kegiatan
Parindra ini sangat didukung oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, pada saat
itu ialah Van Starkenborg yang menggantikan de Jonge pada tahun 1936. Pada
tahun 1937 Parindra memiliki anggota 4.600 orang, berjalan dengan waktu pada
tahun 1938 anggota Parindra bertambah menjadi 11.250 orang, anggota ini
sebagian besar berkonsentrasi di Jawa Timur. Diperkiraan anggota Parindra
(Partai Indonesia Raya) pada saat itu berjumlah 19.500 orang. Dengan gagalnya
Partindo untuk mengadakan kongres pada tanggal 22-25 Desember 1933 menimbulkan
gagasan baru bagi Dr. Sutomo selaku Ketua PPPKI untuk menyatukan partai-partai
lain dibawah asuhannya. Maka direncanakan oleh Dr.Sutomo adanya penggabungan
partai antara Budi Otomo dan PBI.
Kemudian
pada tanggal 6 Januari 1934 dibentuk panitia ad hoc dari pihak PBI, dan Budi
Otomo, yang bertugas untuk mengadakan perundingan tentang adanya penggabungan
kedua partai tersebut. Pada tanggal 19 April 1935 Panitia berhasil merealisasi
gagasan penggabungan (fusi) antara dua partai tersebut dan akan dinyatakan
/diresmikan pada kongres tanggal 24-26 Desember 1935. Hasil penggabungan dua
partai yakni PBI dan Budi Otomo menjadi Partai Indonesia Raya yang disingkat
menjadi Parindra. Pada tanggal 24-26 Desember 1935 kongres bersama-sama antara
Budi Otomo dan PBI dilaksanakan di Surakarta. Hasil kongres menyatakan sesuai
dengan hasil keputusan rapat Panitia ad hoc, yaitu penggabungan dua partai PBI
dan Budi Otomo menjadi Partai Indonesia Raya disingkat menjadi Parindra.
Sebagai ketua dipilih Dr. Sutomo, dan wakil Ketua K.R.M Wuryaningrat.
Untuk
mewujudkan kemerdekaan Indonesia, Parindra melakukan program-program, yakni:
1) Melakukan pencerdasan secara
politik-ekonomi-sosial kepada masyarakat sebagai bekal dalam menjalankan
pemerintahan sendiri di masa depan.
2) Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia
tanpa memandang suku, agama, ras, pendidikan dan kedudukannya.
3) Membentuk dan menjalankan aksi besar hingga
diperoleh pemerintahan yang demokratis, berdasar kepentingan dan kebutuhan
bangsa Indonesia.
4) Bekerja keras di setiap bidang usaha untuk
meninfkatkan kesejahteraan rakyat baik secara ekonomis, sosial, maupun politis.
5) mengusahakan adanya persamaan han dan
kewajiban serta kedudukan dalam hukum bagi seluruh warga Negara Indonesia.
2. Tujuan Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
Partai
Indonesia Raya merupakan partai politik yang bergerak berdasarkan rasa
nasionalisme Indonesia dengan tujuan menjadikan Indonesia Mulia dan Sempurna.
Parindra menganut azas kooperatif, atau memilih untuk berkerja sama dengan
pemerintahan belanda.
Hasil
penggabungan dua partai yakni PBI dan Budi Otomo menjadi Partai Indonesia Raya
yang disingkat menjadi Parindra. Pada tanggal 24-26 Desember 1935 kongres
bersama-sama antara Budi Otomo dan PBI dilaksanakan di Surakarta. Hasil kongres
menyatakan sesuai dengan hasil keputusan rapat Panitia ad hoc, yaitu
penggabungan dua partai PBI dan Budi Otomo menjadi Partai Indonesia Raya
disingkat menjadi Parindra. Sebagai ketua dipilih Dr. Sutomo, wakil Ketua K.R.M
Wuryaningrat.
Pada
kongres tersebut, dicetuskan pula tujuan PARINDRA, yaitu sebagai berikut:
1) Bahwa tiap-tiap manusia berhak dan
berkewajiban untuk berjuang bagi keselamatan Negara dan bangsanya. Untuk itu
harus ada kerjasama antara rakyat dan Parindra untuk mencapai kemakmuran dan
kemulian Indonesia.
2) Bahwa Parindra bertujuan untuk membentuk
sebuah Negara Indonesia Raya yang harus dilaksanakan oleh rakyat sendiri.
3) Parindra berkeyakinan untuk memperjungkan
sebuah Negara yang makmur, untuk itu rakyat Indonesia harus bersatu baik dalam
bidang politik maupun dalam bidang ekonomi.
Untuk
mencapai tujuan tersebut dalam kongres dicetuskan pula syarat-syarat yang
meliputi beberapa bidang:
1) Susunan pemerintahan yang demokratis,
bersandar atas kepentingan dan kebutuhan Indonesia.
2) Alat pemerintahan yang berdasar dan ditujukan
pada kepentingan Indonesia serta dipegang sendiri oleh bangsa Indonesia.
3) Kedudukan yang sama bagi segala penduduknya.
4) Hak dan kewajiban yang sama bagi tiap-tiap
orang.
Tujuan
perjuangannya adalah untuk menyempurnakan derajat bangsa Indonesia dengan
melakukan hal-hal yang nyata dan dapat dirasakan oleh rakyat banyak, seperti
memajukan pendidikan, mendirikan koperasi rakyat, mendirikan bank-bank untuk
rakyat dan juga mendirikan persatuan nelayan.
3. Perjalanan Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
Di
saat gerak Parindra berhasil dengan baik dan berkembang dengan pesat, sehingga
sudah akan mengadakan konggres lagi yang ke II yakni pada bulan Desember tahun
1938, mendadak ada kesedihan dalam diri Parindra sebab Dr.Sutomo yang merupakan
motor dari Parindra meninggal dunia pada tanggal 30 Mei 1938 di Rumah Sakit
Pusat Surabaya. Sebelum beliau meninggal masih sempat berpesan Sudirman:
"Saudaraku, pesanku padamu dan pada saudara-saudara lain semuanya yang
akan kutinggalkan, bekerjalah terus untuk kemajuan pergerakan kita. Ketahuilah
olehmu saudara, bahwa pergerakan bangsa kita masih harus berkembang, harus
bersemi dan harus selalu maju. Oleh karena itu, saudara sampaikanlah pesanku
kepada saudara-saudara semuanya yang tidak dapat mengunjungi saya kemari, bersama-samalah
bekerja lebih giat dan kuat guna kemajuan pergerakan dan perjuangan
bangsa".
Atas
permintaan beliau sendiri jenazah dikebumikan di halaman Gedung Nasional
Surabaya. Walaupun Dr.Sutomo telah meninggal, tetapi dengan adanya pesan
terakhir tersebut, maka kaum pergerakan Nasional khususnya Parindra semangatnya
pantang mundur. Untuk membina tetap adanya kekompakan pada diri Parindra,
selaku Ketua diganti oleh R.M.A. Wurjaningrat sebagai Ketua cita-cita atau
tetap diteruskan.[4] Pada bulan Juli 1938 Rukun Tani sudah mampu mengadakan
konprensi yang pertama di Lumajang. Konprensi Rukun Tani Parindra ini
dimeriahkan juga dengan pasar malam, yang mendapat perhatian dari segala
lapisan masyarakat. Hadir dalam konprensi tersebut antara lain Gubernur Jawa Timur
Van der Plas. Di dalam sambutannya dia mengatakan simpatinya terhadap Rukun
Tani. Di harapkan juga oleh Van der Plas agar supaya Rukun Tani menjauhkan dari
soal-soal politik. Harapan dari Van der Plas tersebut tentunya cukup didengar
saja, sebab bagaimanapun juga Rukun Tani Parindra didirikan oleh kaum
pergerakan nasional, jadi jelas sedikit banyak tentu berbau politik.
Di
dalam diri Parindra didirikan juga koprasi Tani yang disebut
Loemboeng-cooperatie (lumbung koprasi). Lumbung koprasi Parindra ini banyak
sekali didirikan di jawa Timur, antara lain di Dawuhan, Gombloh, Kaliboto,
Jogayudan, Karangbendo, Jombang, Kutorejon, dan lain-lain. Parindra selain
memperhatikan bidang politik dan ekonomi, bidang sosial pun mendapat perhatian
yang baik sekali, sehingga dibentuk Departemen Sosial Parindra. Dalam bidang
ini Parindra mengusahakan pemeliharaan penganggur dan pembukaan berbagai klinik
umum. Pekerjaan sosial lainnya yang tidak mampu ditangani oleh Parindra
sendiri, wakil Parindra memperjuangkan di dalam dewan-dewan. Pekerjaan sosial
dimaksud antara lain perbaikan perumahan rakyat, pengaturan ait umum, pembuatan
kakus umum, dan lain-lain. Dengan demikian jelas bahwa Parindra berjuang dalam
bidang sosial masyarakat tidak hanya terbatas pada kemampuan yang ada, tetapi
Parindra juga memperjuangkan kepada dewan (Perlemen), sesuai dengan jiwa atau
sifat perjuangan Parindra yakni koperasi incidental. Di dalam bidang pendidikan
Parindra juga berusaha untuk memperjuangkan melalui dewan. Usaha ini antara
lain:
1) Memperjuangkan untuk dapatnya mengubah jumlah
dan jenis sekolah yang cocok dengan rencana kemakmuran dan perkembangan
penduduk.
2) Memperjuangkan untuk dapatnya menurunkan uang
sekolah dengan maksud agar sesuai dengan kemampuan rakyat. Di samping itu juga
diperjuangkan agar supaya anak-anak yang tidak mampu mendapat kesempatan untuk
belajar dengan cuma-Cuma
3) Memperjuangkan untuk dapatnya memberikan
beasiswa secara luas dan menyelenggarakan asrama murah bagi para siswa sekolah
menengah dan sekolah tinggi dan apabila dipandang perlu juga untuk anak-anak
sekolah rakyat.
Dengan
melihat usaha-usaha Parindra yang menyeluruh, maka wajar apabila Parindra
mendapat sambutan yang baik sekali dari masyarakat Jawa Timur sehingga partai
ini hidup terus sampai nanti tahun 1942. Dengan bergantinya penjajah, dari
penjajah Belanda kepada penjajah Jepang yang mana Jepang melarang partai yang
berbau politik hidup di Indonesia.
B.
Petisi Soetarjo
a.
Pengertian Petisi Sutarjo
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), petisi adalah permohonan resmi kepada
pemerintah, yang di maksudkan disini adalah Presiden, Raja atau Ratu dan
sebagainya. Sebagai contoh dari sebuah petisi adalah mahasiswa mengajukan
petisi menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari jabatannya.
Petisi
Sutardjo adalah petisi yang dikeluarkan oleh Soetardjo Karthohadikoesoemo.
Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelminaserta serta Staten
Generaal (parlemen) Belanda.( Soetardjo Kartohadikoesoemo adalah putra seorang
Assistant-Wedono di onder-distrik Kunduran, Ngawi, yaitu Kiai Ngabehi
Kartoredjo. Sedangkan Ibunda Soetardjo, Mas Ajoe Kartoredjo, adalah keturunan
keluarga pemerintahan dari Banten. Keluarga Soetardjo adalah keluarga pamong
praja. Semua saudara laki-lakinya menjadi pegawai negeri, sedangkan yang
perempuan menjadi istri pegawai negeri. Walaupun berasal dari keluarga pegawai
pemerintahan yang terpandang, masa kecil Soetardjo banyak dilalui bersama
masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di kemudian hari untuk menulis buku
tentang desa.
Di
akhir masa sekolahnya, Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai
rendah pada 1906. Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah,
melainkan melanjutkan pendidikan di OSVIA. Disinilah Soetardjo mulai
bersentuhan dengan organisasi pergerakan. Pada 1919, Soetardjo yang saat itu
berusia 19 tahun telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1911
saat meninggalkan sekolah dan “magang” kerja pada kantor Assisten Resident di
Blora. Saat itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo,
Bupati Karanganyar.
Tidak
sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu
juru tulis pada kantor Residen Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada 23
Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta lima bulan kemudian
diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19
bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono. Jabatan-jabatan tersebut
membuat Soetardjo banyak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan pemerintahan
hingga membuat berita acara pemeriksaan serta berkas tuntutan jaksa dalam
bahasa Indonesia dan Belanda. Walaupun dibesarkan dalam keluarga birokrat jawa,
namun Soetardjo memiliki pandangan yang menentang feodalisme, terutama yang
merendahkan masyarakat pribumi dihadapan orang Belanda. Saat menjabat sebagai
Mantri, Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara konferensi yang
menempatkan pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan duduk silo di
atas tikar, sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada konferensi
bulan berikutnya, semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan putih dan duduk
di atas kursi. Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai
Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di daerah Blora. Saat menjabat sebagai
Assistent Wedono Bogorejo, Soetardjo menggagas dan memelopori berdirinya
koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang terpuruk karena
praktik tengkulak.
Karena
kerja kerasnya karirnya pun semakin meningkat dan saat terbentuknya PPBB, ia
ditunjuk sebagai wakil ketua dan dicalonkan kemudian terpilih menjadi anggota
Volksraad. Selama menjadi anggota Volksraad, Soetardjo berhubungan erat dengan
para mahasiswa Bestuur academi. Soetardjo melontarkan gagasan-gagasannya
tentang perlunya mengubah hubungan dan tata kerja pamong praja yang feodal
menjadi lebih modern. Selain itu juga didirikan Soetardjo Bank melalui kongres
PPBB. Soetardjo juga memperjuangkan dikeluarkannya pamong praja dari Peraturan
Gaji Regional (Regionale Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan dimasukkan
ke dalam Peraturan Gaji Pegawai (Bezoldingings-regeling Burgerlijke
Landsdienaren) sehingga lebih pantas.
Selama
menjadi anggota Volksraad, selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di
awal bagian tulisan ini, Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat
strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1. Mosi kepada pemerintah Belanda untuk
memberikan sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat
desa. Mosi ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di
Cipanas sebesar 2 juta Gulden.
2. Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat dengan
membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan tugas merancang upaya memberantas
kemiskinan.
3. Mosi berupa tuntutan mengubah sebutan inlander
dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4. Mosi membuat peraturan milisi bagi penduduk
Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk
menjadi anggota militer.
5. Mosi berupa permohonan untuk memperbanyak
sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare
vakschool), menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht)
mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional
(leerplicht).
Selain
itu, Soetardjo juga berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan,
diantaranya adalah pembuatan Desa Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite
voor onderwijsbelangen, pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi
yang dikenal dengan Petisi Soetardjo.
Setelah
penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dengan
kemampuan dan pengalaman pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat sebagai
pemimpin Departemen Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu). Pada 17 Agustus 1945,
Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut kemudian
diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal tersebut
Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman Singodimedjo.
Pada
rapat PPKI 18 Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi
dan kementerian kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang
pertama. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah
otonom provinsi.Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak
berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional
yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
b.
Latar belakang Petisi Sutarjo dan isi Petisi Sutajo
Langkah-langkah
baru dalam pergerakan nasional perlu dilakukan karena terjadinya perubahan
situasi. Gerakan-gerakan non-koperatif jelas tidak mendapat jalan, sedang
gerakan koperatif pun harus dibawah persetujuan pemerintah Hindia-Belanda dan
Kerajaan Belanda. Karena itu rupanya masih ada jalan untuk meneruskan
perjuangan lewat Dewan Rakyat. Partai-partai politik masih ada kesempatan untuk
melakukan aksi bersama sehingga muncullah dengan apa yang disebutkan Petisi
Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936.
Sutarjo
mengajukan usul kepada pemerintah Hindia-Belanda agar diadakan konferensi
Kerajaan Belanda yang membahas status politik yang berupa otonomi meskipun
masih ada dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Hal ini
dimaksudkan agar tercapai kerjasama yang mendorong rakyat untuk memajukan
negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan politik,
ekonomi dan sosial. Jelas bahwa petisi ini bersifat moderat dan koperatif
melalui cara-cara yang sah dalam Dewan Rakyat.
Landasan
usul adalah pasal 1 Undang-Undang Dasar kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa
kerajaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan
Curacao, yang menurut pendapat Sutardjo keempat wilayah itu didalam kerajaan
Nederland mempunyai derajat sama. Usul tersebut didukung oleh Ratu Langie,
Datuk Tumenggung, Alatas, I.J Kasimo, dan Ko Kwat Tiong. Dukungan ini menurut
Sutardjo mencerminkan keinginannya bahwa usul petisi didukung oleh berbagai
golongan suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia.
Adapun
isi petisi itu ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara
wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak
yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah
pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas
pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaanya akan dijalankan
secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan
ditetapkan oleh sidang permusyawaratan itu.
Usul
yang menyangkut perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena makin
meningkatnya perasaan tidak puas dikalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat
kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal De Jonge. Padahal
menurut Sutardjo, hubungan baik antara Indonesia dengan negeri Belanda perlu
ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak lebih-lebih adanya bayangan
bahaya pecahnya perang di Pasifik. Hubungan ini akan berhasil apabila
diusahakan perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia
Belanda. Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai
berikut:
1.
Pulau Jawa
dijadikan satu propinsi, sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan
kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
2.
Sifat dualisme
dalam pemerintahan daerah dihapus
3.
Gubernur Jendral
diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan
4.
Direktur
Departemen mempunyai tanggung jawab
5.
Volksraad
dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6.
Raad Van Indie (
Dewan Hindia ) adalah anggota-anggota biasa dan seorang Vice President diangkat
oleh Raja, disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota
mempunyai hak suara
7.
Dibentuknya dewan
kerajaan Rijksraad sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia,
yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan satu
pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang menteri atau direktur atau
salah seorang dari ketua parlemen
8.
Penduduk
Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya
adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan disini
diadakan seleksi yang ketat.
c.
Reaksi-reaksi terhadap Petisi
Sutarjo
Usul
yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat
reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun bukan dari pihak Indonesia. Pers
Belanda menuduh petisi sebagai suatu permainan yang berbahaya, revolusioner
belum waktunya, dan tidak sesuai dengan keadaan. Dari pihak Indonesia baik di
dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam.
Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang
lengkap, dan tidak mempunyai kekuatan.
Akhirya tanpa pemilihan suara dalam sidang Volksraad, usul petisi
diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus yang dimulai tanggal 17
September 1936. Dari perdebatan yang dilakukan didalam sidang Volksraad,
disamping kelompok pengusul sendiri, terdapat tiga kelompok yang mempunyai
pendapat yang berbeda-beda, bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri terdapat
pula perbedaan pendapat.
1. Kelompok Van Helsdingen, Notosoeroto, terdiri
dari wakil-wakil : Christelijke Staatspartij, Vaderlandsche Club,
Ondernemersgroep, Indische Katholieke Partij dan beberapa anggota organisasi
lainnya yang menolak usul petisi karena rakyat Indonesia belum mampu untuk
berdiri sendiri.
2. Kelompok Sukardjo Wirjopranoto yang terdiri
dari beberapa anggota fraksi nasional, yang dengan tegas menolak usul petisi
karena tidak ada gunanya. Soekardjo berpendapat petisi ini dapat melemahkan
bahkan mematikan cita-cita Indonesia merdeka.
3. Kelompok Suroso, yang terdiri dari wakil-wakil
fraksi Nasional PEB, IEV dan beberapa nasionalis lainnya. Mereka berpendapat
bahwa Indonesia sudah cukup matang dan sudah sepantasnya pemerintah Belanda
memberikan lebih banyak hak-hak kepada Indonesia.
3.
Pada
tanggal 29 September 1936 selesai sidang perdebatan diadakanlah pemungutan
suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara
setuju lawan 20 suara menolak. Dan pada tanggal 1 Oktober 1936 petisi yang
telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu,Staten-Generaal dan
Menteri Koloni di negeri Belanda
Sementara
menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk
memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937
Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia
berdiri sendiri". Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing
untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam
sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah
perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka
penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten
General.
Petisi
ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan
rakyat seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi),
Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik di Indonesia (PPKI),
Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya. Masing-masing organisasi tersebut ada yang
menyetujui usul tersebut dan adapula yang tidak. Pada persidangan Volksraad
bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan
bahwa petisi akan di tolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan
(berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie,
Adviseur voor Inlahdse Zaken. Directeur van Onderwijs en Eredientst), telah
menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang terang. Juga
mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini,
maka tidak dapat disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana
bagi masa yang akan datang.(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirnya
ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus di tolak sehingga perubahan
prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu
diadakan. Akhirnya dengan keputusan kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November
1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda.
Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia Belum
matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri". Surat
keputusan itu disampaikan pada sidang Volksraad tanggal 29 November 1938.
(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Penolakan
yang diambil tanpa keputusan sidang Staten General itu sangat mengecewakan para
pemimpin pergerakan rakyat Indonesia. Sutardjo sebagai pencetus ide petisi
menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan terhadap petisi telah memperlihatkan
sikap sombong dan ceroboh pemerintah Belanda, disamping mendemontrasikan sampai
seberapa jauh sebenarnya kedudukan Volksraad dalam pemerintahan. Ia
memperlihatkan pemerintah Belanda, bahwa sikap yang diambil terhadap petisi
adalah keliru. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Central
Comite Petisi Soetadjo kemudian mengeluarkan suatu surat terbuka yang ditujukan
kepada pengurus besar semua partai politik dan perhimpunan-perhimpunan bangsa
Indonesia, isinya disamping menyesali cara-cara penolakan atas petisi, juga
mengajak seluruh partai-partai untuk menentukan sikap atas penolakan petisi
tersebut, dengan mengadakan suatu konferensi di Jakarta tanggal 27-29 Mei 1939.
Maksud CCPS untuk mengadakan suatu konferensi akhirnya tidak dapat dilaksanakan
karena pada waktu itu beberapa partai politik bermaksud akan mengadakan
Nationale Concentatie yang kemudian setelah terbentuk bernama Gabungan Politik
Indonesia (GAPI). Sehingga Soetardjo kemudian memutuskan bahwa tugas untuk
memperjuangkan petisi selesai sudah.
C.
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan
Indonesia Berparlemen
a.
Pengertian GAPI
Gabungan
Politik Indonesia disingkat GAPI, merupakan federasi perkumpulan politik
Indonesia untuk menyatukan seluruh kekuatan nasional. Terbentuk di Jakarta pada
tanggal 21 Mei 1939 atas inisiatif Parindra untuk melahirkan sebuah Nationale
Concentratie dalam rapat pengurus besarnya 18-19 Maret 1939. Dalam anggaran
dasarnya, GAPI secara umum menjunjung persatuan nasional namun tidak akan ikut
campur dalam partai anggotanya
Kepengurusan
federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas sekretaris
umum, sekretaris pembantu dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk pertama kali
diduduki oleh Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, Amir
Sjarifudin dari Gerindo sebagai sekretaris pembantu, dan Ahmad Husni Thamrin
dari Parindra sebagai bendahara. Anggota GAPI terdiri atas Parindra (Partai
Indonesia Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), Partai Islam Indonesia,
PPKI (Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam
Indonesia), Persatuan Minahasa dan Pasundan. Dasar-dasar federasi meliputi hak
menentukan nasib sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha
politik, ekonomi, sosial serta kesatuan aksi. Sedangkan tujuannya mengadakan
kerjasama dan mempersatukan semua partai politik Indonesia dan mengadakan
kongres-kongres rakyat Indonesia
b.
Latar Belakang berdirinya Gapi
Kemunduran
PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia)
serta gagalnya perjuangan Petisi Soetardjo menjadi salah satu cambuk bagi kaum
pergerakan nasional untuk menuntut dan menyusun barisan kembali dalam wadah
organisasi persatuan, yakni Gabungan Politik Indonesia (Gapi) yang menuntut
"Indonesia Berparlemen" . Terutama ketika para tokohnya ditangkap dan
di asingkan, PPPKI pun mengalami kemunduran, sebagai organisasi yang menyatukan
kaum perjuangan, PPPKI dinilai gagal.
Kegagalan
dari Petisi Sutardjo, dan kemunduran dari PPPKI menjadi alasan langsung untuk
membentuk sebuah organisasi yang menyatukan semua organasisasi nasional ini
dalam sebuah wadah. Sebelum di bentuk GAPI, ada sebuah badan yang dikenal
dengan BAPEPI (Badan Perantara Partai-Partai Politik Indonesia) yang bertujuan
untuk memberi wadah bagi kerja sama partai-partai politik Indonesia memberi
wadah bagi kerja sama partai-partai politik Indonesia yang mempunyai cita-cita
memajukan Indonesia. Namun, nasib badan ini kurang beruntung, berdasarkan
pendiriannya saja sudah mengalami kontroversi, dan banyak alasan untuk
organisasi lainnya untuk tidak masuk.
Lalu,
datang inisiatif dari Thamrin, tokoh Parindra untuk membentuk suatu badan
konsentrasi nasional. Hal ini didukung oleh keadaan dunia ketika itu yang
semakin genting, serta kemungkinan Indonesia terlibat langsung dalam perang. 19
Maret 1939 usul Thamrin ini disetujui
dan secara umum mendapatkan persetujuan dari organisasi lainnya. Dua
bulan kemudian pada 21 Mei 1939, panitia persiapan menyelenggarakan rapat umum
di Gedung Permufakatan. Di sini Thamrin menerangkan bahwa, tujuannya adalah
membentuk suatu badan persatuan yang akan mempelajari dan memperjuangkan
kepentingan rakyat. Dalam pelaksanaan tiap-tiap organisasi tetap bebas untuk
melakukan programnya sendiri.
Pada
hari itu, pendirian GAPI disetujui dan diresmikan. Dalam anggaran dasarnya,
tujuan pendirian GAPI ialah mengusahakan kerja sama antara partai-partai
politik Indonesia serta menjalankan aksi bersama. Asas yang digunakan ialah
penentuan nasib sendiri, kesatuan, dan persatuan nasional serta demokrasi dalam
segi politik, sosial dan ekonomi. Di sini juga disetujui untuk mengadakan
Kongres Rakyat di kemudian waktu. Dalam pengurusan sehari-hari dibentuklah
kesekretariatan bersama yang diketuai oleh Abikusno (PSII) dan di bantu M.H
Thamrin (Parindra) dan Amir Syarifudin (Gerindo).
Di
dalam anggaran dasarnya GAPI berdasarkan pada:
1. Hak untuk menentukan nasib diri sendiri.
2. Persatuan nasional dari seluruh bangsa
Indonesia, dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, dan
sosial.
3. Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.
c. Aksi-Aksi GAPI “ Indonesia Berparlemen “
Program
konkret yang dilakukan GAPI terwujud pada rapat 4 Juli 1939, di sini GAPI
memutuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang akan memperjuangkan
penentuan nasib bangsa Indonesia sendiri serta kesatuan dan persatuan
Indonesia. Dalam aksi GAPI ini memiliki semboyan “Indonesia berparlemen.”. Saat
Jerman melakukan penyerbuan ke Polandia pada 20 September 1939, GAPI
mengeluarkan suatu pernyataan yang dikenal dengan Manifest GAPI. Isinya
mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerjasama menghadapi
bahaya fasisme di mana kerja sama itu akan lebih berhasil apabila kepada rakyat
Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan.
Dalam
usaha mencapai tujuannya tersebut, GAPI disokong oleh pers Indonesia yang
memberitakan dengan panjang dan lebar dan sikap beberapa negara di Asia dalam
menghadapi bahaya fasisme. GAPI juga mengadakan rapat umum yang mencapai puncak
pada 12 Desember 1939 dimana tidak kurang 100 tempat di Indonesia mengadakan
propoganda tujuan GAPI. Jadi,saat itu Indonesia seakan bergemuruh dengan seruan
Indonesia berparlemen.
Kongres
Rakyat Indonesia (KRI) pertama, 25 Desember 1939 di Jakarta. Tujuannya yaitu
Indonesia Raya, bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan
kesempurnaan cita-citanya dan sasaran pertama yang ingin dicapai adalah
Indonesia Berparlemen penuh. KRI
ditetapkan sebagai sebuah badan tetap dengan GAPI sebagai badan
eksekutifnya. Keputusan lainnya dari kongres ialah penetapan bendara Merah
Putih, dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia
serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.
Pada
awal Januari datang jawaban dari menteri jajahan Welter selaku menteri jajahan
mengenai masalah aksi “Indonesia Berparlemen”. Jawabannya berupa “Tidak dapat
dipenuhi keinginan rakyat Indonesia akan Indonesia Berparlemen, karena rakyat Indonesia
umumnya tidak mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup dan perkumpulan-perkumpulan
politik hanya mewakili sebagian kecil dari rakyat Indonesia”.
23
Februari 1940 GAPI menganjurkan untuk mendirikan pendirian Panitia Perlemen
Indonesia untuk meneruskan aksi “Indonesia Berparlemen.” Kesempatan bergerak
bagi GAPI ternyata tidak ada lagi, sebab Belanda diduduki Jerman pada perang
dunia II. Sebab dengan alasan keadaan sedang perang, maka perubahan
ketatanegaraan harus ditunda sampai perang selesai. Namun sebuah tuntutan GAPI
pada bulan Agustus 1940, “Meminta pemerintah Belanda mempergunakan hukum
tatanegara dalam masa genting untuk melangsungkan perubahan-perubahan
ketatanegaraan dan diadakan perlemen penuh menggantikan Volkstraad yang ada”.
Tuntutan ini dijawab oleh Dr. H.J. Levetl pada 23 Agustus 1940, “Bahwa belum
waktunya mengadakan suatu rancangan perubahan ketatanegaraan Indonesia, namun
pemerintah akan membentuk suatu komisi untuk peninjauan dan pengumpulan
alasan-alasan yang terdiri dari cerdik pandai bangsa Indonesia”.
d.
Tanggapan pemerintah Belanda terhadap aksi GAPI hingga Belanda menyerah
terhadap Jepang
Dibentuknya Komisi Visman
14
September 1940 dibentuk komisi Visman. Tugas panitia adalah mengungkapkan
keinginan, cita-cita, serta harapan-harapan politik yang hidup di berbagai
golongan dan lapisan masyarakat mengenai perubahan ketatanegaraan yang
menyangkut posisi mereka. Pada umumnya partai politik di Dewan Rakyat, tidak
menyetujui pendirian komisi ini. Laporan panitia baru diumumkan lebih dari satu
tahun kemudian (Desember 1941) serta kesimpulan yang pokok ialah rakyat ada
umumnya puas dengan pemerintahan Belanda.
Keadaan
yang semakin genting menuntut kaum pergerakan menginginkan perubahan
ketatanegaraan yang cepat dan jelas, pembentukan komisi Visman ini tentunya
akan memperlambat sebab akan membutuhkan pembahasan dan perdebatan. Belum
banyak yang dilakukan oleh komisi Visman, keluar pernyataan dari Ratu
Wilhelmina pada 10 Mei 1941 dan diperjelas lagi dengan pidato Gubernur Jendral
dalam pembukaan sidang Volkstraad, yang intinya mengadakan larangan dan
pembatasan tentang rapat-rapat dan konsultasi komite-komite parlemen. 14 Juni
1941 dikeluarkan peraturan pelarangan untuk kegiatan politik dan rapat
tertutup, rapat lebih 25 orang dilarang. Pada bulan Juni dan Juli pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan peraturan milisi orang-orang bumi putera (inhemse
militie) walau tak mendapatkan sambutan oleh kaum pergerakan.
Ini
dimanfaatkan oleh R.P. Suroso untuk menyatukan semua kalangan yang ada di dalam
dan di luar Volkstraad, dalam rangka menuju Indonesia Merdeka. Untuk itu perlu
dibentuk badan baru yang merupakan tandingan dari Volkstraad. Usaha itu menuai
hasil ketika terjadi Kongres Rakyat Indonesia pada 13-14 September 1941. badan
baru itu dikenal dengan nama Majelis Rakyat Indonesia (MARI), yang menggantikan
KRI. 16 November 1941 berhasil memilih pemimpin yaitu Ketua (Mr. Sartono),
Sekretaris (Sukardjo Wirjopranoto), dan Bendahara (Atik Suardi).
Tidak
lama setelah terbentuknya badan baru tersebut, tanggal 7 Desember 1941 Jepang
menyerang pakalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Mengetahui kejadian
ini Mr. Sartono dan Sukardjo Wirjopranoto mengeluarkan anjuran agar rakyat
Indonesia berdiri di belakang Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda.
Anjuran ini menimbulkan perselisihan, yang menyebabkan Abikusno keluar dari
MARI dan GAPI, sebab anjuran itu dikeluarkan tanpa persetujuan dari
anggota-anggotanya. Perselisihan ini kemudian tertutup dengan keberhasilan
Jepang dalam mengalahkan pasukan sekutu. Kekalahan pasukan A-B-C-D (Amerika,
British, China Deutch), hanya menunggu waktu bagi Jepang masuk ke Hindia
Belanda. Jepang mampu menghancurkan pertahanan Belanda di Indonesia, lalu pada
8 Maret 1942 Belanda menyerah kalah.
Penyerahan
tanpa syarat itu dilakukan oleh Jendral Ter Poorten (Belanda) kepada Jendral
Hitoshi Imamura (Jepang) di lapangan terbang dekat Bandung. Sejak saat itu,
pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Di mulailah babak baru,
pemerintahan Jepang di nusantara.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Partai
Indonesia Raya, didirikan dr.Sutomo, dengan tokoh terkenalnya M.H Thamrin,
tujuannya untuk mencapai Indonesia raya, dan perjuangan Parindra dalam
volksraad cukup berhasil. Pemerintah Belanda akhirnya mengganti istilah inlandeer
menjadi Indonesier.
Petisi Sutarjo adalah petisi yang dikeluarkan
oleh Soetardjo Karthohadikoesoemo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936,
kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal ( parlemen ) Belanda.
Langkah-langkah
baru dalam pergerakan Nasional perlu dilakukan karena terjadinya perubahan
situasi. Gerakan-gerakan non-koperatif jelas tidak mendapat jalan, sedang
gerakan koperatif pun harus dibawah persetujuan pemerintah Hindia-Belanda dan
Kerajaan Belanda. Adapun isi petisi itu ialah permohonan supaya diselenggarakan
suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dimana
anggota-anggotanya memiliki hak yang sama.
Keputusan
kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas
nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakannya antara lain
ialah: "Bahwa bangsa Indonesia Belum matang untuk memikul tanggung jawab
memerintah diri sendiri".
Sementara itu, Gabungan Politik Indonesia
disingkat GAPI, merupakan federasi perkumpulan politik Indonesia untuk
menyatukan seluruh kekuatan nasional. Terbentuk di Jakarta pada tanggal 21 Mei
1939 atas inisiatif Parindra untuk melahirkan sebuah nationale concentratie
dalam rapat pengurus besarnya 18-19 Maret 1939. Dalam anggaran dasarnya, GAPI
secara umum menjunjung persatuan nasional namun tidak akan ikut campur dalam
partai anggotanya.
Dalam
aksinya yang dikenal dengan “ Indonesia Berparlemen “, GAPI telah melakukan
beberapa aksi diantaranya membentuk Kongres Rakyat Indonesia ( 4 Juli 1939 ),
mengeluarkan Manifest GAPI ( 20 September 1939 ). Intinya terjadi Penolakan
dari pihak Pemerintah Belanda dan Hindia Belanda terhadap aksi GAPI sehingga di
akhir pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, GAPI membentuk MARI ( Majelis
Rakyat Indonesia ) pada 16 November 1941 yang tujuannya untuk melanjutkan aksi
GAPI.
Hingga
akhir pemerintahan Hindia-Belanda Petisi Sutarjo dan Indonesia Berparlemen
tidak mendapat reaksi positif dari pihak Pemerintah Belanda maupun Hindia
Belanda, alasan yang mendasar adalah Indonesia dinilai belum mampu untuk
mengurusi urusan ketatanegaraan sendiri yakni terutama dari segi ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar